Kamis, 21 Januari 2016

(OPINI) Trotoar Indonesia: Ruang Kegelisahan Pejalan Kaki

Baru-baru ini saya suka berjalan kaki untuk pergi ke tempat yang sekiranya masih dapat dicapai. Alasan pertama tidak lain karena faktor ekonomi yaitu penghematan. Keadaan saya yang tidak dapat mengendarai kendaraan apapun dan tidak memiliki seseorang untuk mengantar jemput memaksa saya untuk selalu menggunakan jasa ojek baik online maupun tidak. Uang jajan saya pun lebih dari setengahnya hanya dihabiskan untuk ojek. Maka, saya memutuskan untuk memulai penghematan tersebut. Selain itu juga alasan kesehatan. Dikarenakan salah satu saraf pernapasan saya dikorbankan saat operasi, membuat saya harus berolahraga untuk mengembalikan kemampuan bernapas saya seperti semula. Saya memilih berjalan karena sangat mudah dilakukan dan tidak membutuhkan usaha berlebih bagi keterbatasan saya.

Saya memilih untuk berjalan dari kampus saya menuju tempat saya terapi di RS Bethesda Yogyakarta. Rute yang saya ambil berawal dari kampus saya (melewati perpustakaan UGM)- bundaran UGM- SMP N 1- Gramedia- RS Bethesda. Sesungguhnya saya kurang tahu berapa km kah jarak yang ditempuh. Tetapi, apabila saya menggunakan ojek 86, tarif normalnya Rp 10.000 dan ia mencatok harga Rp 2/meter. Jadi bisa kita simpulkan saja jaraknya 1 km.

Sebenarnya, jalan yang ditempuh sangatlah mudah. Hanya tinggal lurus lalu apabila bertemu perempatan Gramedia, belok ke kiri. Namun, di Indonesia tidak ada hal yang mudah bahkan untuk berjalan di trotoar. Saya dapat ibaratkan berjalan di trotoar Indonesia (setidaknya yang pernah saya alami) seperti mengikuti Ninja Warrior, penuh rintangan. Terkadang jalanannya miring, tidak rata, atau bahkan kita harus memanjat. Sampai-sampai saya berpikir mungkin kompetisi Ninja Warrior dapat diadakan di trotoar Indonesia secara alami. Rintangan apa saja yang dimaksud? Berdasarkan pengalaman saya kemarin, rintangan tersebut ada warung/pedagang kaki lima, perilaku pengguna kendaraan bermotor dan bahkan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah.

Warung/Pedagang Kaki Lima
Di jalanan yang saya biasa lewati, banyak tersebar warung/pedagang kaki lima di trotoar. Saya sangat menghargai kehadiran pengusaha-pengusaha independen Indonesia melalui warung/pedagang kaki lima yang tersebar di seluruh trotoar Indonesia. Dan saya juga paham bagaimana jasa mereka untuk menyelamatkan dompet-dompet para mahasiswa (termasuk saya). Akan tetapi, terkadang kehadiran mereka merupakan salah satu rintangan ala Ninja Warrior bagi pejalan kaki terlebih ketika mereka mendirikan warung mereka di sore hari. Saya pernah melewati salah satu warung yang baru didirikan oleh para penjualnya dan kaki saya hampir kejatuhan salah satu besi penyangga. Untungnya, saya sering menonton Ninja Warrior sehingga saya dengan cepat dapat mencegahnya jatuh. Dan untungnya pula, mas-mas penjualnya baik dan cekatan sehingga ia pun dengan tangkas membantu saya menghindari besi itu. Dibalik itu semua, sesungguhnya saya tidak menginginkan kehadiran mereka dihapuskan dari trotoar Indonesia. Saya menganggap kehadiran mereka merupakan salah satu ciri khas yang menguntungkan bagi masyarakat Indonesia. Akan tetapi, mungkin kehadiran mereka dapat lebih diatur lagi di trotoar seperti diberi batasan cakupan wilayah sehingga tidak seluruh bagian trotoar dimiliki oleh warung/pedagang kaki lima dan pejalan kaki dapat diberikan ruang untuk berjalan.

Perilaku Pengguna Kendaraan Bermotor
Bukan sesuatu hal yang aneh lagi apabila para pengguna kendaraan bermotor sering memarkirkan kendaraannya di trotoar. Sering kali pula kita dihadapkan pada ruang-ruang sempit diantara kendaraan-kendaraan yang terparkir tersebut dan memaksa kita untuk melewatinya seperti wanita-wanita WRP melewati kursi. Sayangnya, dapat dipahami bahwa tidak semua pejalan kaki pinggangnya sekecil itu. Hal ini tentunya sangat mengganggu kekhusyukan para pejalan kaki dalam menikmati perjalanan yang indah. Selain itu, sering kali motor menyerobot masuk ke trotoar dan hampir menyerempet pejalan kaki. Tetapi, perilaku pengguna kendaraan bermotor tidak selesai sampai disitu. Banyak pengguna (dari pengamatan saya) yang tidak sadar diri di kala hujan. Jalanan di Indonesia banyak yang tidak rata dan menciptakan kubangan air di pinggir jalan. Tetapi, sering kali motor/mobil tidak memperlambat jalannya ketika melewati kubangan tersebut. Berdasarkan hukum gaya (mungkin, i'm really bad at physics), tekanan dari atas tersebut membuat cipratan-cipratan indah ke sekitarnya. Bayangkan apabila ada pejalan kaki yang berada di sampingnya persis. Sejujurnya, saya dulu pernah mengalami hal tersebut ketika saya dibonceng menggunakan motor. Cipratan tersebut bukan hanya cipratan kecil teman-teman, tetapi ke seluruh badan. Maka, saya menobatkan perilaku tersebut sebagai perilaku (maaf) terbejat oleh pengguna kendaraan bermotor. 

Fasilitas Yang Disediakan Pemerintah
Di Yogyakarta, terdapat halte-halte bus Trans yang menutupi trotoar. Atau tidak ditutupi semuanya dan (lagi-lagi) memaksa pejalan kaki untuk mengikuti perilaku wanita-wanita WRP dengan melewati ruang sempit di belakang halte. Selain itu, uniknya terdapat pohon-pohon atau tanaman lainnya yang ditanam tepat di tengah trotoar. Saya paham bahwa pemerintah ingin membuat suatu ruang hijau di trotoar Indonesia, tetapi pertanyaan saya adalah harus di tengah banget pohonnya? Ada dua hal yang saya khawatirkan atas fasilitas pemerintah tersebut yaitu akses teman-teman kita yang menggunakan kursi roda dan teman-teman kita yang tuna netra. Jelas sekali dapat  dilihat lebar trotoar yang disediakan dengan penghalangan dari halte bus Trans maupun pohon sangat mengurangi akses teman-teman pengguna kursi roda. Bayangkan saja, saya yang berjalan saja harus berusaha sekuat tenaga melewati trotoar yang dihalangi halte bus Trans dan dengan ala-ala wanita WRP. Kalau sial, masih harus melewati motor penjaga halte bus Trans yang juga diparkir di belakang halte. Selain itu, bagi teman-teman kita yang tuna netra juga kesulitan untuk melewati trotoar. Di trotoar Indonesia sebenarnya sudah disediakan jalur penanda trotoar bagi para tuna netra yang berupa bulatan-bulatan menonjol. Akan tetapi jalur ini sering kali menabrak atau putus di tengah pohon yang berada tepat di tengah trotoar ataupun terhalang halte bus Trans. Hal ini tentunya sangat membatasi akses para pejalan kaki terlebih yang menggunakan kursi roda atau pun tuna netra.

Saya disini hanya menyampaikan pengamatan saya selama saya mencoba menjadi pejalan kaki di Indonesia. Apabila pemerintah mengharapkan warganya untuk berjalan kaki dan meninggalkan kendaraan pribadi, mungkin hal-hal yang saya sampaikan bisa dikonsiderasikan keberadaannya. Dan semoga para pejalan kaki di Indonesia senantiasa diberi kemudahan.

1 komentar:

  1. mbak tata, ada hikmah dari semua kejadian tsb. mungkin dengan mbak tata jalan sekilo tiap hari bahkan lebih bisa membuat mbak tata menjadi salah satu wanita wrp tersebut. bener atau ndak? sehingga perjalan yang ditempuh semakin mudah ^,^

    BalasHapus