Jumat, 17 November 2017

Tuah: Pertemuan dengan Rukman Rosadi

Kalian pernah benar-benar merasakan keajaiban dan keberkahan dari Tuhan?
Rasanya, sebelum hari ini, saya tidak pernah. Namun, sejak tanggal 14 November 2017 kemarin, saya percaya bahwa keajaiban dan keberkahan Tuhan adalah nyata: bertemu Rukman Rosadi.

Mengapa bertemu seseorang merupakan sebuah keajaiban dan keberkahan? Cukup panjang ceritanya, namun yang membuat saya tergagu-gagu adalah bagaimana saya dipertemukan oleh beliau.

Tepat 24 jam yang sebelumnya, saya berbincang dengan teman saya, Jasmine, mengenai tahun ini yang terasa sangat gila karena saya dipertemukan oleh orang-orang yang berada di bucket list saya sebelum saya pindah seperti Joko Anwar, Abimana, Rifnu Wikana, Ismail Basbeth. Lalu, Jasmine bilang 'Kurang Rukman Rosadi ya?'. Saya hanya tertawa dan berpikir, semoga dapat bertemu di JAFF Desember ini, meskipun saya kurang yakin.

14 November 2017

Saya bertekad untuk menonton Wage hari ini. Selepas terapi, saya bergegas untuk mengejar jam tayang Wage di Jogja City Mall. Jalanan Jogja saat itu memang mengerikan, namun saya berhasil selamat.

Sesampainya di JCM, saya bergegas mengambil uang dengan bersumpah serapah memikirkan betapa jauhnya letak ATM Center ini. Saya berlari menuju elevator menuju lantai tujuan. Sayangnya, elevator saat itu cukup padat dan berhenti di hampir setiap lantai. Sebagai anak muda yang sangat bergelora untuk mengejar jam tayang Wage, saya kembali bersumpah serapah dalam hati di setiap lantai yang berhenti. Sampai di satu lantai, saya melihat seseorang yang familiar ragu untuk masuk elevator karena setengah penuh: RUKMAN ROSADI. Pintu elevator tertutup tanpa kehadirannya. Hati fangirling saya mulai menggebu-gebu dan mengirimkan pesan singkat ke dua teman saya, Jasmine dan Mega.

'KOK KAYAKNYA GUE BARU KETEMU RUKMAN ROSADI YA'.

Panik tapi saya langsung berpikir harus fokus untuk tidak terlambat mengejar Wage. Sampai di lantai tujuan, saya hampir masuk ke XXI sambil berlari ketika menyadari seorang Rukman Rosadi berjalan di samping saya. Dengan kepanikan alay saya, saya langsung beli tiket nonton Wage yang juga diikuti beliau. Setelah membeli minum, saya langsung masuk ke studio, yang juga diikuti beliau.

Momen saya duduk di studio yang sama dengan beliau adalah momen termagis saya tahun ini.

Interaksi

Singkatnya, setelah saya menonton Wage dengan agak panik, saya menunggu beliau keluar dari XXI. Ada kegetiran untuk mendatangi beliau, karena saya hanyalah seonggok daging yang stratanya jauh di bawah beliau. Namun, setelah ingat kemungkinan tidak akan bertemu beliau lagi tahun depan, saya berubah menjadi seorang yang mempersetankan strata.

Saya datang ke beliau dan memperkenalkan diri selayaknya manusia. Beliau sedikit kaget karena saya mengenalnya, tapi saya juga lebih kaget beliau mengingat nama saya di Instagram yang memang pernah saya manfaatkan untuk mengirimkan pesan ke beliau. Saya jauh lebih kaget ketika beliau mengajak duduk untuk mengobrol. Kami mengobrol dengan banyak topik namun cukup singkat dengan saya yang masih terjebak dalam pikiran-pikiran yang sedang 'menggila-gilakan' semesta.

Kami berfoto dan pamit. Satu kalimat yang ia lontarkan yang cukup membuat saya sedih, 'Sampai ketemu lagi ya, Natasha'. Dalam hati saya, 'iya mas, entah kapan'....

Anyway, itu lah pertemuan yang merupakan sebuah keajaiban untuk saya. Kenapa?
Fakta bahwa 24 jam sebelumnya saya dan Jasmine membicarakan tentang beliau, fakta bahwa beliau yang tinggal di daerah selatan rela untuk datang ke JCM demi Wage, dan fakta bahwa kami datang di saat yang bersamaan itu tidak sampai di logika saya. Rasanya terlalu kebetulan untuk menjadi sebuah kebetulan.

I'm not really a religious person, pals. But after I experienced how I met Rukman Rosadi, it seems the God's work is real. God is good, man!

Senin, 28 Agustus 2017

Sang Panglima dan Panggungnya

Panggung ini. Panggung yang megah untuk ditatapi. Panggung yang indah untuk dipandangi. Panggung yang sempurna untuk dinikmati. Sesempurna Sang Panglima yang selalu gagah perkasa menyelamatkan rakyat jelata. Setiap minggu, di jam yang sama, di tempat ini, ia selalu bertekad untuk menyelamatkan rakyat yang mempercayainya, baik dari Sang Raja, Sang Penyihir maupun Sang Penjajah. 

Baris ke-4 adalah tempat favoritku. Tak ada makna filosofis dibaliknya. Aku hanya suka menatapnya dari baris ini. Tidak terlalu menengadah maupun bersusah payah melompat-lompat. Kalau ingin dibuat filosofis, baris ke-4 melambangkan sudah 4 tahun aku menikmati panggung ini. Mengagumi Sang Panglima. 

Itu dia mulai menyelamatkan rakyatnya. Ia selalu punya cara untuk itu. Meskipun terlambat, namun bukan kah pahlawan selalu datang terlambat? Tapi, kapan giliranku? Kapan ia menyelamatkanku dari ketidakadilan? Ia telah terlambat bertahun-tahun sejak bedebah-bedebah itu merenggut harga diriku. Ah, namun siapa diriku? Aku bahkan lebih rendah daripada rakyat jelata. Aku hanya seorang narapidana yang menunggu kematian.

Jumat, 28 April 2017

Surat Cinta untuk Kalian, Para Pejuang

Hai teman-teman mantan tim KKN ku, 
Aku merasa aku harus menulis surat ini. maaf aku terkesan sangat lebay dan drama sampai harus menulis ini. karena masih ada yang belum tersampaikan di perpisahan tadi.
Aku tahu aku baru sebentar mengenal kalian, baru beberapa kali bertemu kalian. Tapi, awal mula kita bertemu, aku sudah jatuh cinta sama kalian. Aku merasa nyaman. Aku merasa 'pulang'. 
Aku tahu aku belum begitu hadir di tim ini, karena kecanggunganku untuk berinteraksi dengan banyak orang sekaligus. Tapi, aku selalu suka mendengarkan kalian, candaan maupun keluh kesah kalian.

The moment i met you guys, i knew i just found a home.

Kalian bagai rumah untukku. Rumah yang aku sulit untuk temukan akhir-akhir ini. Dan ketika rumah itu harus diambil, aku merasa kehilangan. setidaknya untuk sekarang.

Untuk Tengdu, Mb. Er, Mb. Maya, Aswin, Bang Zed, Titis. Maaf kalian harus melihat kelemahanku kemarin hari. Aku sebenarnya sangat benci untuk melakukan hal tersebut. Tapi hari itu dan momen itu, aku sedang lelah-lelahnya dengan kehidupan ditambah kemarahan itu. Aku bingung gimana harus bersikap, jadi aku memilih jalan pintas untuk menangis. Dan terima kasih sudah menemaniku saat itu.

Untuk teman-teman cluster soshum kece ku, 
Dyas: terima kasih untuk bimbingannya dan rumpinya selama ini. Terima kasih juga di tengah-tengah rapat bersedia membantuku menyelesaikan sebuah paper laknat. 
Sari: terima kasih sudah menjadi teman kkn pertama yang me-follow instagramku. Terima kasih sudah jadi pawang kucing di tengah-tengah rapat. Semoga kamu segera bisa mengadopsi kucing disini.
Niken: terima kasih buat pertemanannya. Terima kasih untuk berbagi tatapan bingung ketika ditanyain apa perkembangan cluster soshum kece waktu Dyas ga ada. 
Bang Zed: terima kasih buat cerita-ceritanya. Terima kasih juga buat air minumnya kemarin. Semoga kehipsteranmu membawamu pada jodoh yang berasal dari mana saja. Semoga tahun ini, Bang Zed bisa diberikan kemauan untuk menyelesaikan tulisan 30++ halaman itu. 
Aku akan rindu cerita-cerita horror kampus ugm kalian. Jangan lupa untuk ajak aku mendaki bersama. 

Untuk semuanya, aku mungkin kurang mengenal satu-per satu dari kalian. Tapi, aku merasa aku udah sayang kalian. Kalian sudah berada di tim yang tepat untuk berproses bersama. Dijaga ya keharmonisannya!

Ketika kalian punya keraguan di diri kalian, ingatlah bahwa tidak perlu IP 4 atau lulus cepat untuk menjadi yang terbaik. Cukup berpikiran terbuka dan memiliki kepedulian untuk jadi yang terbaik. Just like you guys. 

I love you guys, and you're part of the best people I've found. 
Good luck for your KKN, I believe that they are lucky to have you guys in that place. 

Cheers!

Selasa, 25 April 2017

Proteksi atau Diskriminasi? Hanya luapan kegelisahan.

Ah, sudah lama saya tidak menulis mengenai kegelisahan saya selama ini. Hari ini, semua kegelisahan saya sudah terbukti.

Momen KKN merupakan salah satu momen paling berharga bagi mahasiswa. Saat itu, kita sebagai mahasiswa dituntut untuk berproses dan beradaptasi dengan lingkungan. Namun, sayangnya momen tersebut tidak begitu ramah bagi orang-orang seperti saya (baca: orang yang dianggap memiliki 'kekurangan'). 

Pada umumnya, mahasiswa membentuk tim KKN yang beranggotakan strategis, begitu pun saya. Setelah berkali-kali ditolak, akhirnya saya menemukan sebuah tim yang sangat inklusif menurut saya. Terdiri dari berbagai macam sifat dan generasi membuat saya mengagumi kepribadian mereka satu per satu. Kebahagiaan saya untuk bergabung dengan mereka terancam karena alasan 'kesehatan' saya. Bagi yang belum tahu apa yang dimaksudkan dengan 'kesehatan' saya, begini ceritanya:

4 tahun lalu, saya mengalami kecelakaan motor dan membuat saya mengalami 'brachial plexus injury' dimana terdapat goresan atau bahkan putus saraf di pundak dekat leher bagian kanan saya. Hal itu membuat saya kehilangan sebagian besar kemampuan motorik maupun sensorik. Butuh waktu sekitar 6 bulan bagi saya untuk kembali beraktivitas dengan normal dan mandiri seperti memakai baju, menulis maupun hal-hal yang selayaknya dilakukan perorangan. 

Kembali ke permasalahan KKN. Dengan pertimbangan kondisi fisik saya, saya terancam untuk berada dipindahkan ke lokasi yang jauh lebih dekat. Saya sebenarnya tidak keberatan untuk berada di lokasi manapun, toh judulnya 'mengabdi'. Yang membuat saya sedih adalah bagaimana kapabilitas saya harus diragukan atau bahkan terhalang dengan kondisi fisik saya. Katanya, SOP yang mengharuskan saya untuk 'ditolak' seperti itu. Katanya, hasil kesehatan saya mengharuskan saya untuk seperti itu (meskipun saya dengar sebenarnya saya baik-baik saja dan dapat ditempatkan dimana saja). Yang paling membuat saya nyesek adalah kata-kata 'saya kan ga bisa me-review case-by-case karena kondisi kesehatan yang berbintang ada ratusan (saya lupa berapa). akan repot.'. Saya tidak bisa menahan tangis saya ketika saya mendengar itu. Kenapa? Karena saya merasa itu sebuah upaya men-generalisir suatu kondisi seseorang. Dan kasus saya, bukan lah kasus yang general. Kata 'repot' membuat saya merasa menjadi beban.

Saya paham maksud beliau dan orang-orang yang memiliki SOP adalah baik. Tidak ingin ada permasalahan kesehatan yang akan membahayakan individu tersebut atau pun tim. Namun, apa yang saya punya bukan lah masalah 'kesehatan' pada umumnya. Saya tidak punya kondisi kesehatan yang dapat membahayakan nyawa saya. Saya telah mempunyai ini selama 4 tahun. Saya lebih suka untuk berpikir apa yang saya punya bukanlah kekurangan, melainkan perbedaan. Dengan keterbatasan saya, saya masih bisa melakukan apa yang orang dengan fisik pada umumnya lakukan. Saya pergi ke gym, jogging, berenang (saya cukup ahli berenang), menyelam, main basket (masih harus beradaptasi), bahkan saya sedang berusaha untuk melakukan planking selama 1 menit (doakan saya!). Pada tahun awal saya memiliki ini, saya berhasil untuk melukiskan sebuah wanita di kanvas. Saya sering berpergian, membawa bawaan cabin saya yang mungkin mencapai 5 kg (atau lebih) dan menolak dibawakan oleh mas-mas ganteng bermata biru di Melbourne (disclaimer: mas-mas adalah pria berumur 30-45). Saya sudah terbiasa tersesat maupun berlari mengejar pesawat di bandara. Saya pergi ke konser dan harus bertingkah selayaknya pemain UFC karena kerasnya kontak tubuh dengan orang lain. Pada dasarnya, saya memiliki kemampuan seperti kalian yang memiliki fisik normal. Saya hanya punya cara yang berbeda untuk melakukannya. 

Saya sedih karena ketika saya mendapatkan kenyataan ini, saya berpikir bahwa masih banyak orang di luar sana yang belum cukup paham tentang ini. Saya baru memiliki ini selama 4 tahun tapi bagaimana dengan orang yang difabel sejak lahir? Apakah mereka selalu mendapatkan bentuk 'proteksi' yang berbeda tipis dengan diskriminasi? Bagaimana mereka harus menerima kenyataan untuk menjadi minoritas yang terkadang diabaikan kapabilitasnya? Saya sangat mengerti bahwa langkah-langkah yang diberikan dimaksudkan sebagai bentuk proteksi. Tetapi saya bisa jamin, tidak semua individu yang memiliki perbedaan ini nyaman dengan keistimewaan yang diberikan. Jujur, ketika awal saya diberikan ini, saya merasa nyaman karena saya diperhatikan dan diberikan keistimewaan tertentu. Lalu, saya mulai merasa gusar setelah setahun, rindu untuk diperlakukan seperti orang lain yang berfisik 'normal' dan mulai berpikir bagaimana mereka sebenarnya melihat saya. Apakah mereka melihat saya dengan tatapan mengasihani? 

Kegelisahan saya selama ini sudah terbukti pada hari ini. Saya dinilai berdasarkan apa yang terlihat maupun hasil tes kesehatan yang bahkan hanya berlangsung 5 menit atau kurang dan bukan dari apa yang bisa saya lakukan. Saya berpikir bahwa saya akan selalu diragukan atas apa yang saya punya ini, perbedaan ini. Mungkin memang saya terkesan egois karena hanya melihat dari sudut pandang sendiri, tapi saya percaya bahwa setiap individu berhak memiliki kesempatan untuk berkembang lebih besar dari batas-batas yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya.

Dan untuk tim (atau mantan) KKN saya, terima kasih untuk penerimaannya selama ini. Setelah saya ditolak lebih dari 5 kali (mungkin karena tangan saya atau bukan), kalian menerima saya beserta apa yang dikatakan orang-orang sebagai kekurangan dengan tangan terbuka. Jangan menjadikan apa yang terjadi sebagai beban moral. Saya malah merasa berterima kasih di tengah-tengah keraguan orang-orang akan perbedaan saya, ada orang-orang seperti kalian yang mau percaya pada saya. Terima kasih karena telah membuat saya merasakan penerimaan di tengah-tengah penolakan. Maaf saya sudah merepotkan kalian dengan birokrasi yang sangat berbelit-belit. Maaf juga saya belum dapat berkontribusi dengan maksimal dan sesuai harapan. Saya baru bertemu dengan masing-masing dari kalian sebentar, tapi saya tahu kalian orang-orang baik. Orang-orang spesial. Semoga apapun yang terjadi nantinya, menjadi sesuatu yang berharga untuk dikenang.