Senin, 28 Agustus 2017

Sang Panglima dan Panggungnya

Panggung ini. Panggung yang megah untuk ditatapi. Panggung yang indah untuk dipandangi. Panggung yang sempurna untuk dinikmati. Sesempurna Sang Panglima yang selalu gagah perkasa menyelamatkan rakyat jelata. Setiap minggu, di jam yang sama, di tempat ini, ia selalu bertekad untuk menyelamatkan rakyat yang mempercayainya, baik dari Sang Raja, Sang Penyihir maupun Sang Penjajah. 

Baris ke-4 adalah tempat favoritku. Tak ada makna filosofis dibaliknya. Aku hanya suka menatapnya dari baris ini. Tidak terlalu menengadah maupun bersusah payah melompat-lompat. Kalau ingin dibuat filosofis, baris ke-4 melambangkan sudah 4 tahun aku menikmati panggung ini. Mengagumi Sang Panglima. 

Itu dia mulai menyelamatkan rakyatnya. Ia selalu punya cara untuk itu. Meskipun terlambat, namun bukan kah pahlawan selalu datang terlambat? Tapi, kapan giliranku? Kapan ia menyelamatkanku dari ketidakadilan? Ia telah terlambat bertahun-tahun sejak bedebah-bedebah itu merenggut harga diriku. Ah, namun siapa diriku? Aku bahkan lebih rendah daripada rakyat jelata. Aku hanya seorang narapidana yang menunggu kematian.