"Seorang pria terbangun tanpa mengetahui apapun yang mengejar nyawanya"
Setidaknya, itu satu kalimat penggalan mengenai Headshot yang disutradarai oleh MoBros. Ketika trailer Headshot keluar, banyak yang menyamakannya dengan The Raid. Saran saya? Jangan sama kan, wong sutradara dan alur ceritanya beda!
Tertanggal 9 Desember 2016 ini, saya menonton Headshot tanpa memiliki ekspektasi apapun. Ketika saya memikirkan film action Indonesia, saya selalu membandingkan dengan The Raid dan lama-kelamaan saya mulai lelah dan sadar bahwa perbandingan tersebut sangat tidak adil bagi film-film lainnya. Jadi, saya mulai dengan ekspektasi nol dan tanpa membaca sinopsis film sama sekali.
Di dalam Headshot saya mempelajari karakter Ishmael (Iko Uwais) yang mengalami amnesia karena suatu tembakan di kepala. Ia dirawat oleh seorang calon dokter, Ailin (Chelsea Islan). Di tengah usahanya untuk mendapatkan ingatannya kembali, Ishmael dikejar-kejar masa lalunya yang dipimpin oleh sosok misterius, mr. Lee (Sunny Pang). Kehidupan Ishmael pun semakin kompleks dengan kehadiran Tejo, Tano, Besi dan Rika (David Hendrawan, Zack Lee, Very Tri Yulisman, Julie Estelle).
Disini, saya akan kembali mengutarakan pendapat dengan segala kesotoyan saya yang mungkin bagi beberapa pihak tidak dapat ditoleransi.
1. Plot
Banyak yang menyamakan film ini dengan Bourne. Menurut saya, mereka tidak salah karena background ceritanya sebenarnya sama yakni seorang pria yang terlihat 'lost' dengan semua yang ada di sekitarnya. Tetapi, jujur saya tidak memiliki masalah dengan kemiripan cerita ini karena toh konflik yang disajikan berbeda dan tidak sama persis dengan Bourne. Plot yang ditawarkan membuat perbandingannya dengan The Raid tidak terlalu relevan. Headshot hadir dengan kehilangan dari seorang pria yang dramatis dan dilematis. Kehilangan yang berujung pada penemuan ini lah yang menjadi titik dimana unsur drama yang tidak menye tetapi juga tidak terlalu serius untuk diikuti. Banyak yang takut ini akan menjadi titik lemah Headshot. Dengan segala kesotoy-an saya, saya akan bilang tidak. Saya pikir ini merupakan unsur beda yang tidak dimiliki film action Indonesia pada umumnya (tentunya film kebanggaan kita, Azrax tidak termasuk karena Azrax adalah kunci). Anyway, permasalahannya adalah ada beberapa cast yang masih sangat kaku dalam penyampaian cerita. Ada yang menyebut Iko cukup kaku. Saya sendiri sebenarnya tidak merasa masalah dengan akting Iko, mungkin karena saya sudah 'terbiasa' dengan aktingnya di MerantauFilms. Atau mungkin karena memang akting Iko di Headshot baik-baik saja. Saya bukan pengamat akting orang dan karena saya juga tidak melihat satu-satu aktor di Headshot mana yang bagus mana yang tidak. Tetapi, saya cukup melihat ada kekakuan Very Tri Yulisman ketika berbicara dengan Iko. Kekakuan ini sebenarnya cukup mengganggu karena menurut saya dialog diantara keduanya bisa lebih menyentuh penonton. Tetapi kembali lagi, saya hanya seorang penonton yang sotoy tanpa ilmu khusus, jadi tontonlah sendiri supaya lebih yakin.
2. Scenes
Jujur, scene pembuka Headshot adalah salah satu scene yang paling saya suka di film action. Di awal film, MoBros sudah 'melegitimasi' kekuatan mr. Lee. Saya sempat melihat beberapa video reaksi terhadap trailer yang menontonkan adegan tembakan antara narapidana dan penjaga penjara dalam ruang sempit di awal film. Banyak yang sangat menyukai scene itu dan saya pribadi suka bagaimana scene itu memberi kekuatan pada mr. Lee. Tetapi, bagi anak sotoy seperti saya, kemampuan para penjaga penjara atau polisi itu sangat mengganggu. Tetapi di luar itu, salut dengan bagaimana scene itu dibuat. Secara keseluruhan, saya merasa nyaman dengan koreografi adegan fighting yang ada, meskipun sering mengingatkan saya pada The Raid (maaf, can't help it). Saya juga suka bagaimana MoBros menggambarkan scenes dengan dukungan setting yang tersedia. Lokasi Headshot ini tidak dijelaskan dimana, tapi MoBros berusaha memberikan sentuhan otentik di setiap scenesnya (misalnya di kantor polisi, pantai). Selain itu, saya sangat menghargai adanya unsur-unsur komedi baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Itu merupakan salah satu keunggulan lain dari film ini.
Saya memiliki beberapa scenes favorit, (((Peringatan))) ini akan jadi sangat spoiler. Saya suka unsur slowmotion yang ditambahkan pada adegan Ishmael v. Garindra Bimo (maaf saya lupa namanya). Biarkan saya mendeskripsikan scene ini ke dalam bahasa yang sedikit politis. Saya suka unsur slow motion karena dari situ, saya dapat merasakan power yang dimiliki Ishmael kembali. Analoginya ketika seorang pemimpin dikudeta, kemudian ia mendapat tekanan dari AS untuk mengembalikan powernya, dan dengan cara kekerasanlah dia bisa. Ga nyambung? Ya maaf. Moving on, scene favorit saya selanjutnya adalah Ishmael v. Tejo Tano di kantor polisi. Saya cinta banget sama scene bayangan Tejo Tano. Sangat iconic menurut saya. Bayangan keduanya sangat meneror bagi saya. Meski banyak yang tertawa, menurut saya bayangan Tejo Tano dapat dikenang bagi orang yang menontonnya. Scene favorit saya yang terakhir adalah Ishmael v. Besi. Sejak Besi keluar di scene awal-pertengahan, saya tidak dapat berhenti memikirkan siapa sebenarnya dia di dunia nyata karena mukanya yang sangat familiar. Awalnya saya berpikir Tanta Ginting atau Volland, tapi 'ah bukan, kejauhan', pikir saya. Ingatan saya kembali ketika Ishmael dan Besi mulai adegan fightingnya di hutan. Ada satu momen dimana saya berpikir 'HOLY MOLLY MY BASEBALL BAT MAN'. Saya tidak paham mengapa saya sangat merasa ter-engage dengan scene ini. Sayangnya, seperti yang telah saya bilang sebelumnya, Very memainkan Besi dengan kaku. Selain itu, hubungan Ishmael dan Besi tidak terlalu ditonjolkan, entah karena disengaja atau tidak. Menurut radar kesotoyan saya, cerita mereka berdua akan jadi salah satu cerita yang menyentuh dan adegan di akhir hidup Besi bisa lebih bermakna. Jangan salah sangka, saya tidak meminta untuk menjelaskan semuanya, hanya interaksi keduanya yang dianggap sangat dekat. Scene terakhir yang akan saya bahas bukan jadi yang favorit tetapi saya perlu untuk menganggapinya: Ishmael v. Rika. Saya pikir scene ini akan semakin memberi unsur romantisme dalam film ini. Sayangnya, keduanya seperti tidak memiliki koneksi 'bersama'.
Ada satu hal yang cukup mengganggu dalam antar scenes yaitu kontinuitas. Dalam setiap film, secara naluriah saya cukup memperhatikan kontinuitas. Sayangnya, Headshot tampak kurang memperhatikan hal ini. Saya tidak terlalu hapal adegan mana yang kontinuitasnya terganggu. Tetapi, ada satu adegan di bus antara Ailin dan anak kecil yang tiba-tiba telah dipeluknya. Awalnya, saya tidak terlalu memikirkan ini, tapi kontinuitasnya semakin terganggu di scenes setelahnya.
3. Karakter
Karakter di Headshot benar-benar ditonjolkan di setiap scene nya. mr. Lee sangat ikonik. Ia adalah kombinasi antara kasih sayang dan ambisi yang seharusnya tidak disatukan. Dari keempat anak buat mr. Lee, saya sangat menyukai Tejo Tano. Keduanya dianggap tidak realistis. Tetapi tanpa mereka, Headshot menjadi kehilangan dua komikal musuhnya. Karakter sangat diperhitungkan mulai dari yang minor sampai yang major. Karakter nelayan penyelamat Ishmael (lagi-lagi saya lupa namanya), dapat merangkul seluruh penonton untuk menunjukkan bahwa 'oh film ini ada manusia pada umumnya ya, bukan cuma manusia super macam Ishmael'. Saya juga suka dengan munculnya cameo-cameo dalam karakterisasi Headshot. Seluruhnya menurut saya sangat cocok dengan Headshot. Karakterisasi secara keseluruhan sebenarnya cukup janggal dengan tata bahasa 'elu gue'. Tapi kembali lagi, setting yang ditawarkan oleh MoBros tidak terlalu mendeklarasikan suatu kultur tententu.
Anyway, itu lah sekilas kesotoy-an saya mengenai Headshot. Overall, saya cukup suka dengan bagaimana film ini bercerita. Tetapi, satu hal yang saya mengerti dari Headshot, film ini layak untuk ditonton di bioskop dan bukan waste of money. Mohon maaf apabila kesotoy-an saya ini mengganggu banyak pihak.